Secara empirik, “ Dugderan “ merupakan
upacara tradisional Kota Semarang yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu
setiap awal bulan Ramadhan. Kegiatan ini biasanya diawali dengan adanya pasar
rakyat yang dimulai seminggu sebelum dugderan, dan biasanya diramaikan dengan
banyaknya pedagang dari berbagai daerah yang menggelar barang daganganya,
seperti ; bermacam-macam makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan, gerabah.
Selain itu adapula karnaval yang diikuti
mobil-mobil hias dengan berbagai tema, diantaranya : pakaian adat yang
mencerminkan binneka tunggal ika, kesenian khas Kota Semarang, cerita
tradisional Kota Semarang, drum band, dan yang menjadi ciri khas
dari karnaval ini, “ Warak Ngendok “, sejenis binatang khayalan berkepala naga
namun bertubuh kambing yang berjalan beriringan keliling Kota Semarang.
Sebelum karnaval dimulai biasanya telah banyak warga yang berkumpul ditepi
jalan – jalan besar seperti jalan Pahlawan, jalan Pandanaran, sampai jalan
Pemuda. Bagi anak – anak kecil karnaval ini dapat menjadi pengalaman tersendiri
yang menyenangkan karena banyaknya kendaraan hias yang menarik.
Bagaimana
upacara tradisional Kota Semarang yang disebut ’ Dugderan ” ini bermula, dan
mengapa diadakan sebelum bulan Ramadhan tiba ? Untuk menemukan jawabannya,
perlu adanya pencarian makna simbolik dari upacara tradisional Kota Semarang
ini, sehingga didapat juga realitas ide, dan nilai dari upacara tradisional
ini. Beberapa literatur dapat digunakan sebagai pendukung untuk menemukan makna
simbolik yang ada dibalik upacara tradisional ini.
Kata Dugderan, yang merupakan nama
upacara ini, berasal dari kata “ Dug “ yang diasumsikan sebagai suara
bedug yang dipukul sehingga menghasilkan suara Dug..Dug.., dan kata “ Der “
yang diasumsikan sebagai suara meriam.
Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah
Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat yang merupakan
Adipati. Dialah orang yang pertama kali memberanikan diri memimpin upacara
tradisional Dugderan untuk menentukan mulainya hari puasa, dimana setelah Bedug
Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga
kali. Sebelum membunyikan bedug dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman
Kabupaten.
Jalannya Upacara
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan
meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
dibunyikan.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap
ditempat :
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
Upacara Dugderan
dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara
berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon
keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu
gamelan Kabupaten dibunyikan.
Makna Simbolik
Upacara Tradisional “ Dugderan “
Dari dasar empirik
dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat
diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan
sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh
pemerintah Kota Semarang sebagai refrensi pariwisata Kota Semarang.
Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan
pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak
tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan
meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan
Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Jadi
tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti
dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa
bulan Ramadhan.
Namun, upacara adat
ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara
warga Kota Semarang dengan sesama warga, warga Kota Lain, atau bahkan negara
lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, maupun dengan Pemerintah Kota.
Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana
promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya
Kota Semarang.
Sehingga, upacara
tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa /
Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni
sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.
Realitas Ide
Kini jaman telah
berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap dilestarikan.
Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa
sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu
dijadikan sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun
pada masa sekarang, upacara tradisional khas Kota Semarang ini tidak
dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini dilaksanakan. Walaupun
demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap tidak
berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah Realitas Ide.
Perbedaan ini
terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat
pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang
dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum
bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran
sebagai Adipati pada masa lalu.
Namun upacara
tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama
kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak
ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota
dan istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman
dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar
Kauman, imam Masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya
berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa,
lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa
dengan bahasa Jawa.
Realitas Nilai
Melihat dari
penjelasan sebelumnya, pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ”
mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada
makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan
Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan
terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti ;
gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia,
upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya ; nilai
sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah ;
nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais
rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.
Prosesi
“Dugder”
Meskipun
jaman sudah berubah dan berkembang namun tradisi Dug Der masih tetap
dilestarikan. Walaupun pelaksanaan Upacara Tradisi ini sudah banyak mengalami
perubahan, namun tidak mengurangi makna Dug Der itu sendiri. Penyebab perubahan
pelaksanaan antara lain adalah pindahnya Pusat Pemerintahan ke Balaikota di Jl
Pemuda dan semakin menyempitnya lahan Pasar Malam, karena berkembangnya
bangunan-bangunan pertokoan di seputar Pasar Johar.Upacara Tradisi Dug Der
sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota dengan waktu yang sama, yaitu sehari
sebelum bulan Puasa. Upacara dipimpin langsung oleh Bapak Walikota Semarang
yang berperan sebagai Adipati Semarang.Setalah upacara selesai dilaksnakan,
dilanjutkan dengan Prosesi/Karnaval yang diikuti oleh Pasukan Merah Putih, Drum
band, Pasukan Pakaian Adat “ Bhinneka Tunggal Ika “, Meriam, Warak Ngendog dan
berbagai kesenian yang ada di kota Semarang.
Dengan
bergemanya suara bedug dan meriam inilah masyarakat kota Semarang dan
sekitarnya mengetahui bahwa besok pagi dimulainya puasa tanpa perasaan
ragu-ragu.