Selasa, 24 September 2013

UPACARA DUGDERAN

Secara empirik, “ Dugderan “ merupakan upacara tradisional Kota Semarang yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu setiap awal bulan Ramadhan. Kegiatan ini biasanya diawali dengan adanya pasar rakyat yang dimulai seminggu sebelum dugderan, dan biasanya diramaikan dengan banyaknya pedagang dari berbagai daerah yang menggelar barang daganganya, seperti ; bermacam-macam makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan, gerabah.
Selain itu adapula karnaval yang diikuti mobil-mobil hias dengan berbagai tema, diantaranya : pakaian adat yang mencerminkan binneka tunggal ika, kesenian khas Kota Semarang, cerita tradisional Kota Semarang, drum band, dan yang menjadi ciri khas dari karnaval ini, “ Warak Ngendok “, sejenis binatang khayalan berkepala naga namun bertubuh kambing yang berjalan beriringan keliling Kota Semarang. Sebelum karnaval dimulai biasanya telah banyak warga yang berkumpul ditepi jalan – jalan besar seperti jalan Pahlawan, jalan Pandanaran, sampai jalan Pemuda. Bagi anak – anak kecil karnaval ini dapat menjadi pengalaman tersendiri yang menyenangkan karena banyaknya kendaraan hias yang menarik.

Bagaimana upacara tradisional Kota Semarang yang disebut ’ Dugderan ” ini bermula, dan mengapa diadakan sebelum bulan Ramadhan tiba ? Untuk menemukan jawabannya, perlu adanya pencarian makna simbolik dari upacara tradisional Kota Semarang ini, sehingga didapat juga realitas ide, dan nilai dari upacara tradisional ini. Beberapa literatur dapat digunakan sebagai pendukung untuk menemukan makna simbolik yang ada dibalik upacara tradisional ini.
Kata Dugderan, yang merupakan nama upacara ini, berasal dari kata “ Dug “ yang diasumsikan sebagai suara bedug yang dipukul sehingga menghasilkan suara Dug..Dug.., dan kata “ Der “ yang diasumsikan sebagai suara meriam.
Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat yang merupakan Adipati. Dialah orang yang pertama kali memberanikan diri memimpin upacara tradisional Dugderan untuk menentukan mulainya hari puasa, dimana setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum membunyikan bedug dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman Kabupaten.

Jalannya Upacara
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
dibunyikan.
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap ditempat :
1. Pembawa bendera
2. Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
3. Niaga ( Pengrawit)
4. Pemimpin Upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.

Makna Simbolik Upacara Tradisional “ Dugderan “
Dari dasar empirik dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai refrensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Jadi tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.
Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara warga Kota Semarang dengan sesama warga, warga Kota Lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, maupun dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Sehingga, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.

Realitas Ide
Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah Realitas Ide.
Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu.
Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam Masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa, lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan bahasa Jawa.

Realitas Nilai
Melihat dari penjelasan sebelumnya, pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti ; gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya ; nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah ; nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.

Prosesi “Dugder”
Meskipun jaman sudah berubah dan berkembang namun tradisi Dug Der masih tetap dilestarikan. Walaupun pelaksanaan Upacara Tradisi ini sudah banyak mengalami perubahan, namun tidak mengurangi makna Dug Der itu sendiri. Penyebab perubahan pelaksanaan antara lain adalah pindahnya Pusat Pemerintahan ke Balaikota di Jl Pemuda dan semakin menyempitnya lahan Pasar Malam, karena berkembangnya bangunan-bangunan pertokoan di seputar Pasar Johar.Upacara Tradisi Dug Der sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota dengan waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Puasa. Upacara dipimpin langsung oleh Bapak Walikota Semarang yang berperan sebagai Adipati Semarang.Setalah upacara selesai dilaksnakan, dilanjutkan dengan Prosesi/Karnaval yang diikuti oleh Pasukan Merah Putih, Drum band, Pasukan Pakaian Adat “ Bhinneka Tunggal Ika “, Meriam, Warak Ngendog dan berbagai kesenian yang ada di kota Semarang.
Dengan bergemanya suara bedug dan meriam inilah masyarakat kota Semarang dan sekitarnya mengetahui bahwa besok pagi dimulainya puasa tanpa perasaan ragu-ragu.

                  


TARI KECAK

Siapa yang tidak tahu Tari kecak khas daerah Bali. Berapa tahun yang lalu tarian ini pernah ditarikan sekitar lima ribu orang dan tercatat sebagai rekor dunia.  Lantas siapa yang menciptakan dan untuk apa diciptakan tarian tersebut. Tari kecak biasa disebut tari Cak atau Api (Fire Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari Lakon Pewayangan seperti Rama Sita dan tidak secara khusus digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya.
Tari kecak dicptakan oleh Wayan Limbak dan Walter Spies seorang pelukis dari Jerman sekitar tahun 1930. Sebenarnya tari Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat. Tidak sulit untuk mengambil definisi atau kenapa disebut tari Kecak. Ketika penari laki-laki menarikan tarian tersebut, terdengar kata cak…cak…cak dari sanalah kata Kecak diambil. Tarian kecak ini tidak seperti tarian lainnya dari Bali, tari kecap tidak menggunakan alat bantu musik apapun, justru alunan tercipta dari teriakan “cak…cak…cak” yang membentuk alunan musik murni dan kincringn yang diikatkan di kaki para penari.

Perkembangan Tari Kecak Di Bali
Tari kecak di Bali mengalami terus mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1970-an. Perkembangan yang bisa dilihat adalah dari segi cerita dan pementasan. Dari segi cerita untuk pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana tapi juga bagian bagian cerita yang lain dari Ramayana.
Kemudian dari segi pementasan juga mulai mengalami perkembangan tidak hanya ditemui di satu tempat seperti Desa Bona, Gianyar namun juga desa desa yang lain di Bali mulai mengembangkan tari kecak sehingga di seluruh Bali terdapat puluhan group kecak dimana anggotanya biasanya para anggota banjar. Kegiatan kegiatan seperti festival tari Kecak juga sering dilaksanakan di Bali baik oleh pemerintah atau pun oleh sekolah seni yang ada di Bali. Serta dari jumlah penari terbanyak yang pernah dipentaskan dalam tari kecak tercatat pada tahun 1979 dimana melibatkan 500 orang penari. Pada saat itu dipentaskan kecak dengan mengambil cerita dari Mahabarata.Namun rekor ini dipecahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan yang menyelenggarakan kecak kolosal dengan 5000 penari pada tanggal 29 September 2006, di Tanah Lot,Tabanan,Bali.

Pola Tari Kecak

Sebagai suatu pertunjukan tari kecak didukung oleh beberapa factor yang sangat penting, Lebih lebih dalam pertunjukan kecak ini menyajikan tarian sebagai pengantar cerita, tentu musik sangat vital untuk mengiringi lenggak lenggok penari. Namun dalam dalam Tari Kecak musik dihasilkan dari perpaduan suara angota cak yang berjumlah sekitar 50 – 70 orang semuanya akan membuat musik secara akapela, seorang akan bertindak sebagai pemimpin yang memberika nada awal seorang lagi bertindak sebagai penekan yang bertugas memberikan tekanan nada tinggi atau rendah seorang bertindak sebagai penembang solo, dan sorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang mengantarkan alur cerita. Penari dalam tari kecak dalam gerakannya tidak mestinya mengikuti pakem-pakem tari yang diiringi oleh gamelan. Jadi dalam tari kecak ini gerak tubuh penari lebih santai karena yang diutamakan adalah jalan cerita dan perpaduan suara.

Tari Kecak merupakan salah satu bentuk dari tari Babali yaitu tari-tarian yang dapat dipersembahkan dalam rangkaian upacara Panca Yajna, maupun hanya sebagai hiburan.

Tari Kecak dipandang dari sejarahnya berasal dari Tari Sanghyang, yang biasanya berfungsi sebagai sarana pengusir penyakit dan juga sebagai sarana pelindung masyarakat Bali terhadap ancaman kekuatan jahat, tentunya mengandung banyak nilai-nilai, baik dalam filsafat maupun seni budaya. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Tari Kecak adalah,
1.Nilai Religius
Masyarakat Bali mempercayai Tari Kecak sebagai salah satu tarian ritual memanggil dewi untuk mengusir penyakit dan juga sebagai sarana pelindung dari kekuatan jahat. Dalam hal ini masyarakat Bali sangat mempercayai Dewinya untuk melindungi dirinya dari ancaman-ancaman. Dewi yang biasanya dipanggil dalam ritual ini adalah Dewi Suprabha atau Tilotama.

2.Nilai Estetika
Dalam sebuah karya seni pastilah mempunyai nilai estetika atau keindahan. Hal ini dapat kita lihat dari gerakan penari Kecak, kekompakan semua penarinya. Keselarasan antara lagu dan gerakan yang terlihat sangat ritmis meskipun tanpa alat musik apapun.
Di dalam perkembangannya Tari Kecak tidak hanya sebagai tarian suci atau sakral seperti di atas, akan tetapi juga menjadi sebuah drama tari pertunjukan yang menceritakan kisah Ramayana maupun Mahabarata. Hal ini tentunya juga berpengaruh pada nilai-nilai yang ingin disampaikan pada penikmat Tari Kecak. 

Filsafat hitam-putih yang ada dalam Epos Ramayana juga semakin memperjelas nilai-nilai yang terkandung dalam Tarian Kecak. Karena dalam Epos Ramayana diperlihatkan secara jelas antara yang baik dan yang buruk, berbeda dengan Epos Mahabarata, yang merupakan filsafat abu-abu. Adapun nilai-nilai yang terkandung adalah:
1.Nilai religius
Nilai religius terlihat jelas pada adegan tiga, dimana Rama memohon pertolongan pada Dewata. Hal ini menunjukkan bahwa dalam cerita tersebut sangat mempercayai kekuatan Tuhan untuk menolong dirinya. Orang Bali yang sangat menjaga nilai adat dan religi dalam tarian itu maka penari perempuan haruslah memakai kemben (baju adapt Bali) bukan telanjang dada seperti para penari prianya. Jadi penari perempuan belum pernah dipasang pada posisi pasukan kera.

2.Nilai moral
Dalam adegan-adegan Tari Kecak yang mengambil cerita Ramayana terdapat banyak sekali nilai-nilai moral yang dihadirkan. Seperti, kesetiaan Shinta pada suaminya (Rama), kesetiaan Laksmana pada kakaknya. Nilai moral juga terlihat pada Burung Garuda yang ingin menolong Shinta dari cengkeraman Rahwana sampai ia mengorbankan sayapnya. Dalam cerita tersebut Rahwana sebagai pemegang sifat buruk, tamak, serakah, dan sebagainya ia bahkan mengambil apa yang bukan miliknya secara paksa. Kesetiaan juga terlihat pada adik kandung Rahwana yang bernama Kumbakarna, meskipun ia tidak menyukai tindakan kakaknya akan tetapi ia tetap membantu kerajaannya berperang melawan pasukan Rama sebagai bukti kesetiaannya pada negara.

3.Nilai estetika
Gerakan Tari kecak yang sangat indah dan sangat khas dan unik menjadi alasan saya menjadikannya sebagai sebuah nilai estetika. Selain itu, unsur gerak dan bunyi yang menjadi ciri khas Tarian Kecak merupakan bagian yang paling sederhana yang dilakukan secara seragam dan bersamaan sehingga menjadi filosofi penting atas terjadinya persaudaraan yang universal.