Kamis, 24 Januari 2013

Tentang Google.inc


1. Sejarah Lahirnya Google Atau Asal Usul
Google Inc  merupakan sebuah perusahaan publik Amerika Serikat, berperan dalam pencarian Internet,Cloud Computing, serta teknologi iklan online & perangkat lunak. Keuntungan dari AdWords merupakan hampir seluruh keuntungan perusahaan ini.
Google didirikan oleh Larry Page dan Sergey Brin ketika mereka masih mahasiswa di Universitas Stanford. Mereka berdua memiliki saham pada perusahaan sebesar 16 persen. Pada awalnya, perusahaan ini dibentuk sebagai perusahaan saham pribadi pada 4 September 1998Penawaran umum perdananya dimulai pada tanggal 19 Agustus 2004. Sejak awal, misi dari perusahaan ini adalah "To organize world's Information and make it universally accessible and useful" (Untuk mengatur seluruh informasi di dunia dan membuatnya bisa diakses dan berguna bagi semua orang), dan slogan tidak resminya adalah "Don't Be Evil" (Janganlah menjadi jahat). Tahun 2006 perusahaan ini melakukan perpindahan markas keMountain View, California.
Perkembangan sejak perusahaan ini dibuka telah mencetuskan berbagai macam produk, Merger, dan persekutuan dibalik mesin pencari perusahaan ini. Perusahaan ini menawarkan perangkat lunak produktivitas online diantaranya emailpaket aplikasi perkantoran, dan situs jejaring sosial. Produk Google juga diperluas ke komputer pribadi, dengan aplikasi untuk menjelajah web, mengatur & menyunting foto, and pesan instan. Google memimpin perkembangan dari Androidsistem operasi mobile, juga Google Chrome OS sistem operasi berbasis web, yang ditemukan pada netbook khusus yang dinamakan Chromebook.
Google telah diperkirakan sudah menjalankan satu juta server di pusat data di seluruh dunia,dan telah memproses lebih dari satu milyar pencarian . dan sekitar dua puluh empat petabyte data dari pengguna setiap hari.
Per September 2009, Alexa menyamtumkan situs utama Google.com (yang terfokus pada Amerika Serikat) sebagai website yang paling banyak dikunjungi di Internet, dan website Google Internasional lainnya di seratus teratas, juga website-website yang dimiliki Google seperti YouTube,Blogger and Orkut.Google juga di peringkat nomor dua di database brand equity, BrandZ. Posisi pasar yang dominan dari lanan Google berperan sebagai sumber kritik pada perusahaan ini dari masalah privasi, hak cipta, dan sensor.
2. Asal Mula Nama Google
Menurut Informasi dari berita online terkemuka, nama google ini diambil dari nama googlo yang di berikan oleh Milton Sirotta keponakan Edward Kasner. Yang kemudian berubah menjadi google yang sangat unuik karena memiliki kosa kata huruf “o” lebh dari satu. Yang dijadikan sebagai pedoman jika huruf “o” semakin banyak maka hasil pencarian yang di dapat oleh google juga banyak. Sangat unik bukan.
3. Pendiri Google
Google didirikan oleh dua orang sahabat mahasiswa Ph. D di universitas stanford yaitu bernama Larry Page dan Sergey Brin. Yang kemudian tepat pada tanggal 7 September 1998 google resmi berdiri menjadi sebuah perusahan di Amerika dengan dukungan modal dan investasi dari teman Larry Page dan Sergey Brin.
4. Produk Google
Semakin sukses perusahan google inc, akhirnya melebarkan pasar dengan menciptakan beberapa fasilitas gratis dan aplikasi berbayar juga yang masih berada di bawah perusahaan Google inc. Salah satu aplikasi yang berhasil diciptkana oleh google adalah sebagai berikut ;
  • Gmail.com adalah layanan email gratis yang di berikan oleh google untuk berinteraksi dengan teman atau rekan kerja anda melalui E-mail atau surat elektronik. Space yang diberikan google sangat banyak dan anda bisa mendaftar secara gratis di Gmail.
  • Blogger.com adalah site Blog gratis yang dahulu dimiliki orang pribadi dan diakuisi google. Mulai dari itu blogger menjadi layanan blog gratis yang bisa dijadikan catatan online pribadi penggunanya. Blogger juga bisa dijadikan ladang pencari uang di internet lewat adsense ataupun jualan produk online sepertitoko online.
  • Youtube.com. Sebelum adanya youtube, pada awal tahun 2006 meluncurkan Google Video, yang membolehkan pengguna untuk mencari dan melihat video secara gratis dan juga membolehkan penggunanya menyebarkan isinya termasuk acara-acara televisi CBS, pertandingan basket NBA, dan video musik. Kemudian google membeli situs youtube dan berhasil memasarkan youtube di kalangan pengguna video online.
  • Google Earth adalah sebuah program pemetaan interaktif yang disediakan oleh satelit dan fotografi udara yang mencakup keseluruhan planet Bumi. Google Earth dianggap sangat akurat dan lebih mendetail. Beberapa kota besar memiliki gambar jelas yang dapat dibesarkan sedekat-dekatnya untuk melihat kendaraan dan pejalan kaki dengan jelas.
  • Google Chrome adalah fasilitas browser terbaik yang ada dan berdiri di bawah perusahaan google inc.
  • Android adalah perangkat lunak untuk mobile phone yang dimilki oleh google. Android juga berhasil menggaet pasar internasional sebagai Operating Sistem (OS) mobil pinter terbanyak di gunakan.
  • G+ atau Google Plus adalah jejaring sosial yang dimiliki google untuk menyaingi Social Media Twitterdan Facebook. Namun G+ belum berkembang dan penggunanya masih sedikit.
  • Google Maps
  • Google translate
  • Google Adsense
Itulah kilasan singkat tentang Sejarah google yang perlu anda ketahui sebagai pengguna mesin pencari google.


5.kantor Google
Sebagai perusahaan internet yang sudah meraksasa, Google tentu punya kantor di berbagai negara. Selama ini, mereka dikenal punya kantor dengan desain nan menawan, berpotensi bikin iri bagi yang melihatnya.
Dari sekian banyak kantor Google, manakah yang dianggap paling keren? Banyak yang menilai, kantor Google di Zurich, Swiss adalah jawabannya. Memang ketika melihat desainnya, siapapun pasti bakal terpukau.
Mau tahu seperti apa bagian dalam kantor Google di Zurich ini? Simak foto-fotonya yang dihimpun detikINET dari berbagai sumber terpercaya.



1. Ruangan cozy
Inilah salah satu sudut di kantor Google. Tampak para pekerja bersantai dengan pakaian bebas. Sepertinya, penampilan tidak terlalu penting di Google. Yang penting adalah prestasi.
Foto di atas menjepret salah satu ruangan di kantor Google Zurich. Sama sekali tidak tampak seperti kantor bukan? Malah seperti ruang tamu sebuah rumah mewah.
2. Ruangan pribadi
Di berbagai sudut, Google membuat ruangan khusus yang bisa dipakai sendiri-sendiri. Mungkin agar karyawan dapat berpikir dengan bebas dan menciptakan inovasi selanjutnya atau sekadar untuk beristirahat.
“Pekerja didorong untuk menggunakan 20% dari waktu kerjanya di proyek pribadinya. Google News, Orkut, adalah contoh proyek yang muncul dari model seperti ini,” kata Avinas Kaushik, mantan karyawan Google.
3. Bersantai dan melepas lelah

Banyak cara melepas lelah di kantor Google. Duduk di kursi gantung yang santai, atau tidur di kursi yang siap memijat secara otomatis. Menyenangkan bukan?


4. Bertukar Ide
Bertukar ide dan berdiskusi intens tampaknya menjadi salah satu budaya di kantor Google. Para karyawan bisa melakukannya dengan santai dan nyaman di banyak tempat yang sudah disediakan.

5. Makanan lezat
“Setiap hari jika aku ke kafe, menunya selalu berbeda, lezat dan sehat, dan kebanyakan organik. Di Google, makanannya tidak pernah membosankan karena setiap kafe yang ada punya koki sendiri dan mereka kerap bertanya bagaimana rasa makanannya,” imbuh Avinas.



Sabtu, 12 Januari 2013

Kajian Kebudayaan Manusia pada Zaman Pascamodern (Postmodern)


NAMA            : Hilman Ramadhan
NPM               : 33412482
KELAS          : 1ID01

Era post-modern yang berkembang dewasa ini telah membawa kearah yang penuh dengan ketidakpastian. Di mana tidak ada  nilai benar atau salah yang mutlak bisa dipertahankan, semua kemungkinan bisa terjadi di mana suatu ide dan gagasan yang dianggap benar atau salah pada masa modern bisa diputar balik, diset ulang pada masa ini. Teori-teoriblack swam  sangat mendukung  untuk konsep post-modern ini, dimana salah satu contohnya adalah ketika semua orang dari belahan dunia manapun mengetahui bahwa binatang yang namanya angsa adalah  binatang yang berbulu putih dari tahun ketahun dan mungkin lebih lama lagi dari masa kemasa, namun secara seketika ditemukan anggsa berbulu hitam di Australia yang telah mematahkan pengetahuan selama ini tentang bahwa angsa adalah berbulu putih, hal ini menjadi suatu pertanyaan dan refleksi yang sangat besar bagi banyak orang, tentang adakah kepastian yang mutlak ataukah sebenarnya masih banyak pengetahuan yang belum terungkap oleh umat manusia  di mana sebenarnya masih banyak hal-hal yang belum diketahui oleh umat manusia, yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan di mana sesuatu yang sebenarnya dianggap modern selama ini ternyata adalah sesuatu yang primitif dan sesuatu yang dianggap primitif adalah merupakan suatu bentuk bijaknya.
            Masyarakat di negara maju yang selama ini memuja modernisasi sebagai suatu bentuk kebijaksanaan dari kehidupan umat manusia telah mulai kembali lagi ke bentuk tradisi yang selama ini dianggap kuno dan primitif dan harus ditinggalkan, diganti dengan sesuatu yang serba modern. Ini tercermin dari sifat masyarakat di negara-negara maju yang lebih pluralis terhadap ide dan gagasan yang muncul contoh nyatanya adalah ketika pada masa modern saat ditemukannya berbgai teknologi untuk membantu masyarakat mengeksploitasi alam dengan semaksimal mungkin dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakatnya namun setelah itu apa  yang terjadi alam malah berbalik memusuhi dengan memberikan bencana yang  tidak kunjung ada habisnya, namun coba kita renungi bersama bagaimana masyarakat pada masa lalu yang disebut sebagai masa primitif di mana teknologi belum berkembang seperti masa modern dapat bertahan hidup dan tetap sejahtera, yaitu dengan menjalin relasi yang harmonis dengan alam, dengan hal-hal yang tabu yang dianggap sebagai mitos-mitos yang tidak rasional oleh masyarakat modern, tetapi menjadikan mereka tetap bisa bertahan.
Walaupun pemikiran-pemikiran mereka adalah sesuatu yang tidak rasional bagi orang-orang yang hidup dimasa modern, argumen dari masyarakat yang masih menghargai unsur-unsur tradisi terhadap masyarakat modern, bisa jadi masyarakat modern tersebut pengetahuannya belum sampai kepada pemahamannya terhadap hal yang tidak rasional sebagai sesuatu hal yang sebenarnya rasional. Hal inilah yang banyak dipelajari kembali oleh masyarakat di negara maju. Tetapi bagaimana dengan masyarakat negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, sampai dimanakah pemikirannya, apakah masih  mencoba meninggalkan masa mitis dengan kearifan-kearifan lokalnya untuk menuju masyrakat modern yang telah mulai ditinggalkan masyarakat di negara-negara maju dengan kembali lagi ke nilai-nilai tradisi.
Ada hal yang  menarik ketika kita bicara mengenai informasi di era post-modern, di mana  aktualisasi yang kita tangkap dapat berbentuk lisan dan tulisan. Dan ketika dicermati secara seksama, bahwa pada masyarakat Indonesia masih   menyukai budaya lisan, maka  informasi penting yang seharusnya dapat dibakukan dalam bentuk catatan, aturan dan sejenisnya, masih jauh dari harapan. Namun apakah ini bisa disebut dengan suatu ketertinggalan dan harus diganti dengan budaya tulis dimana sebagian orang ada yang menganggap bahwa budaya tulis adalah sesuatu yang modern, apabila kita belajar dari contoh-contoh diatas, ini semua dapat dipertanyakan lagi dapat diteliti, apakah harus mengganti budaya lisan dengan budaya tulis, atau mempertahankan budaya lisan tanpa perlu menggantinya dengan budaya tulis, atau budaya lisan dan tulis sama-sama dipertahankan sebagai bentuk pluralis yang lebih bijaksana.
Apabila dilakukan pengamatan yang sederhana terhadap kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia, baik anak-anak maupun orang dewasa, tampaknya kegiatan membaca masih belum menjadi suatu kebiasaan. Oleh karena itu apakah budaya tulis dapat benar-benar diterapkan di masyarakat Indonesia, apakah hal itu tidak terkesan seperti memaksakan, budaya baca saja belum tertanan tetapi sudah ingin merubah semuanya menjadi budaya tulis, apakah ini bisa menjadikan semuanya bernilai negatif dengan kehilangan kebiasaan budaya lisan dan tidak memperoleh perubahan ke budaya tulis tentunya. keadaan yang demikian ini dapat dikatakan sebagai suatu cerminan dari masyarakat yang mengalami kemunduran.
Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard
A. Nilai Tanda dan Nilai Simbol
Signs, signs ? Is that all you have to say
(Tanda, tanda ? Apakah cuma itu yang ingin kau katakan ?)
            Perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat konsumer. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi adalah determinan pasar kapitalisme yang juga berubah semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya bahkan politik (Kellner, 1994: 3). Dalam era ini, segala upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui pemassalan produk, diferensiasi produk dan manajemen pemasaran. Iklan, teknologi kemasan, pameran, media massa dan shopping mall merupakan ujung tombak strategi baru era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat konsumer, masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat selalu dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai-guna) dan harga (nilai-tukar)  seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia kini menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik perhatian Baudrillard untuk mengkajinya secara lebih mendalam.
            Dalam bukunya For a Critique of The Political Economy of The Sign (1981), Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non-utilitarian aktivitas konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk menyatakan bahwa konsep nilai-guna dan nilai-tukar yang disarankan Marx, kini telah digantikan oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Namun sebelum sampai kesana, Baudrillard terlebih dahulu mengkaji kondisi masyarakat Barat yang tengah memasuki era masyarakat konsumer.
            Baudrillard memulai proyek genealogi masyarakat konsumer ini dengan dua bukunya yang pertama, The System of Objects (1968) dan Consumer Society (1970). Dalam bukunya yang pertama  yang terinspirasi oleh buku Roland Barthes, The System of Fashion (1967)  Baudrillard menyatakan bahwa di bawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah digantikan oleh mode of consumption (Bertens, 1995: 146). Konsumsi inilah yang kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem-sistem objek, yang merupakan judul buku Baudrillard, adalah sebuah sistem klasifikasi yang membentuk makna dalam kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Melalui objek-objek atau komoditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya. Menurut Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan             atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media                   (Baudrillard, 1969: 19). Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi orang yang satu dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat.
            Selanjutnya dalam Consumer Society (1970), Baudrillard mengembangkan lebih jauh gagasannya tentang kedudukan konsumsi dalam masyarakat konsumer. Menurutnya, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29). Sambil menyanggah pendapat Galbraith yang menyatakan bahwa manusia adalah homo psychoeconomicus, Baudrillard menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970: 47). Dengan pernyataan ini Baudrillard samasekali tidak bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumer, konsumsi  sebagai sistem pemaknaan  tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Dalam bukunya Baudrillard menjelaskan:
What is sociologically significant for us, and what marks our era under the sign of consumption, is precisely the generalized reorganization of this primary level in a system of signs which appears to be a particular mode of transition from nature to culture, perhaps the specific mode of our era (Baudrillard, 1970: 47).
(Apa yang secara sosiologis penting bagi kita, dan apa yang menjadi tanda zaman bahwa kita tengah berada dalam era konsumsi, sebenarnya adalah sebuah fenomena umum tentang pengaturan kembali faktor konsumsi sebagai aspek primer dalam suatu sistem penandaan, yang kemudian tampil sebagai fenomena perubahan dari yang Alamiah (nature) menjadi produk Budaya (culture), yang mungkin merupakan wajah khas zaman kita sekarang).
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,
We dont realize, how much of the current indoctrination into systematic and organized consumption is the equivalent and the extension, in the twentieth century, of the great indoctrination of rural populations into industrial labor, which occurred throughout the nineteenth century (Baudrillard, 1970: 50).
(Kita tidak menyadari bagaimana proses indoktrinasi konsumsi yang sistematik dan terorganisir di abad keduapuluh ini sebenarnya adalah sama dan sekaligus merupakan perluasan, dari proses indoktrinasi masyarakat pedesaan sebagai buruh-buruh industri, yang berlangsung pada abad kesembilan belas).
            Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu paling meyakinkan.
            Pemikiran tentang fenomena masyarakat konsumer dan kemenangan nilai-tanda serta nilai-simbol ini selanjutnya mencapai titik kematangannya pada For a Critique of the Political Economy of the Sign (1981). Dalam bukunya ini Baudrillard memisahkan diri dari Marx dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumer dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana disarankan Marx, sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai sarana analisa kondisi sosial masyarakat. Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta citra oleh perkembangan teknologi dan media massa (Lechte, 1994: 234).
            Mengacu Marx, bersamaan dengan perubahan prinsip masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, muncul konsep komoditi yang merupakan konsekuensi logis dominannya logika produksi dalam era kapitalisme. Komoditi adalah objek produksi yang didalamnya memuat dua nilai dasar yakni, nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna, menurut Marx, adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Nilai-guna menjadi prinsip interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat feodal. Sementara itu seiring dengan perkembangan struktur masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, lahir nilai baru yang menyertai konsep komoditi, yakni nilai-tukar. Nilai tukar adalah nilai yang diberikan kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai-gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek adalah komoditi, yang memiliki kedua nilai dasar tersebut. Dengan konsep komoditi, barang yang memiliki manfaat berbeda, tidak mustahil memiliki nilai-tukar yang sama. Seekor sapi misalnya, bukan tidak mungkin memiliki nilai-tukar yang sama dengan sebuah mobil, meskipun keduanya barangkali memiliki nilai-guna yang berbeda (Lechte, 1994:235). Dengan hadirnya konsep komoditi, maka uang sebagai alat tukar pun semakin mendapat tempat penting dalam aktivitas ekonomi masyarakat kapitalis. Lebih jauh, Marx menyatakan bahwa bila dalam era kapitalisme awal, uang hanyalah sarana tukar pemenuhan kebutuhan, maka dalam era kapitalisme lanjut, uang adalah tujuan akhir dengan komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994: 43). Dengan kata lain, nilai-tukar menjadi lebih penting dibanding nilai-guna. Dan komoditi diciptakan bukan untuk nilai-gunanya, melainkan demi nilai tukar yang berupa uang.  Perkembangan kapitalisme lanjut kemudian menempatkan kedudukan uang (sebagai alat tukar) sebagai satu-satunya sarana penilaian komoditi yang bersifat independen. Uang menjadi bahasa baru yang membentuk dan memberi makna realitas. Dengan uang misalnya, seseorang dapat membeli dan memiliki berbagai kualitas hidup manusia yang diinginkannya. Dalam bahasa Marx, seperti yang dikutip Kellner;
With money, one can possess various human qualities. That which exists for me through the medium of money, that which I can pay for, which money can buy, that am I, the possessor of money. The extent of the power of money is the extent of my power. Moneys properties are my properties and essential powers  the properties and powers of its possessor (Kellner, 1994: 44)
(Dengan uang, seseorang dapat memiliki berbagai kualitas hidup manusia. Bahwa apa yang bisa saya miliki dengan sarana uang, saya bisa bayar, dan uang bisa membelinya, itulah saya, si pemilik uang tersebut. Bertambah besarnya kekuasaan uang adalah bertambah besarnya kekuasaan saya. Apa yang bisa dimiliki uang adalah milik dan kekuasaan utama saya  si pemilik uang).
Thus, what I am and am capable of is by no means determined by my individuality. I am ugly, but I can buy for myself the most beautiful of women. Therefore, I am not ugly, for the effect of ugliness  its determinant power  is nullified by money. In a society where human beings  powers. All the things which you cannot do, your money can do. And conversely, what money cannot do, seemingly cannot be done (Kellner, 1994: 45).
(Maka siapa saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh individualitas saya. Saya bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita tercantik yang saya inginkan. Saya kini tidak lagi jelek, karena efek kejelekan tersebut  sebagai faktor determinan  telah dihapuskan oleh uang. Dalam masyarakat dimana manusia telah berubah menjadi benda, maka benda pulalah (uang) yang akan menggantikan kekuasaan manusia. Segala sesuatu yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa melakukannya. Dan sebaliknya, apa yang uang tidak dapat melakukannya, maka ia juga tidak dapat dilakukan).
            Dengan penjelasan demikian, Marx hendak menyatakan bahwa nilai-tukar (exchange-value) kini telah mengalahkan nilai-guna (use-value). Uang sebagai ukuran nilai-tukar  adalah segala-galanya.
            Berangkat dari kerangka analisa komoditi Marx ini, selanjutnya Guy Debord mencoba membaca realitas masyarakat dewasa ini. Bersama kelompoknya Situasionist International  Debord menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam struktur sosial masyarakat, dari masyarakat komoditi (commodity society) ke masyarakat tontonan (society of spectacle). Masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan, dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditi, namun dalam bentuknya yang lebih sublim dan abstrak. Tontonan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai-guna dan kebutuhan manusia sebagai sarana memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Televisi, iklan dan fashion misalnya,  adalah aparat-aparat ideologis masyarakat tontonan yang paling representatif. Lebih jauh, dalam masyarakat tontonan, segala sesuatu  kebudayaan, pendidikan, olahraga, politik bahkan agama  dikemas sebagai tontonan pula. Dengan tontonan komoditi ditampilkan secara lebih halus dan menyenangkan.
Sumber:         -http://segalanya-nabie.blogspot.com/2012/07/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.html
               -http://komunitas.ui.ac.id/pg/blog/purwanto.putra/read/32449/budaya-lisan-dan-budaya-tulisan-di-era-postmodern

Jumat, 04 Januari 2013

KAJIAN KEBUDAYAAN MANUSIA PADA ZAMAN MODERN

NAMA            : Hilman Ramadhan
NPM               : 33412482
KELAS          : 1ID01


Zaman modern biasanya merujuk pada tahun-tahun setelah 1500. Tahun tersebut ditandai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur, penemuan Amerika oleh Christopher Columbus, dimulainya Zeitgeist dan reformasi gereja oleh Martin Luther.
Masa modern ditandai dengan perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuanpolitik, dan teknologi. Dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20seni modernpolitikiptek, dan budaya tak hanya mendominasi Eropa Barat dan Amerika Utara, namun juga hampir setiap jengkal daerah di dunia. Termasuk berbagai macam pemikiran yang pro maupun yang kontra terhadap dunia Barat. Peperangan brutal dan masalah lain dari masa ini, banyak diakibatkan dari pertumbuhan yang cepat, dan hubungan antara hilangnya kekuatan norma agama dan etika tradisional. Hal ini menimbulkan banyak reaksi terhadap perkembangan modern. Optimisme dan kepercayaan dalam proses yang berjalan di tempat telah dikritik oleh pascamodernisme sementara dominasi Eropa Barat dan Amerika Utara atas benua lain telah dikritik oleh teori pascakolonial. (sumber :id.wikipedia.org/wiki/Zaman_modern)
Contoh-contoh menurut unsur-unsur kebudayaan :
1. Bahasa, terdiri dari bahasa lisan, bahasa tertulis, dan naskah kuno.
2. Sistem Pengetahuan, meliputi teknologi dan kepandaian dalam hal tertentu, misalnya pada masyarakat petani ada pengetahuan masa tanam, alat pertanian yang sesuai lahan, pengetahuan yang menentukan proses pengolahan lahan.
3. Organisasi Sosial, yaitu cara-cara perilaku manusia yang terorganisir secara sosial meliputi sistem kekerabatan, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, dan sistem politik.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, yaitu alat-alat produksi, senjata, peralatan distribusi dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi, pakaian dan perlengkapannya, makanan dan minuman, peralatan perlindungan atau istirahat
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup, yaitu dari nomaden menganut foodgathering, semi producing, food producing hingga industri. Misalnya perburuan, perladangan, perkebunan, pertanian, peternakan, perdagangan dan industri
6. Sistem Religi, yaitu adanya keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, dan tempat terakhir manusia hidup, yakni surga dan neraka.
7. Kesenian, yaitu gagasan, dongeng, dan penciptaan lain berupa seni-seni mengukir.

Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yanghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPoEahUGDqOjPoMMVVQ0-ToBta2TxwA_L3ARVCkUtYj6c9ENSuPq9qNfeQZYw74lDVJWc-Tknk1F812fn-OdzDqnqVwD6CbJBBr3EaAS4G7M88MjBUfqAJ52Ln4941UkjbTbBTf1R3Le4/s320/Parade+Budaya+Tabanan.jpg sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.

Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pol
a hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Kebudayaan Modern
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDTTGLRwktKGvsxFlObN4QxzyzC_y8A0WoQuSF0CgRF69eyue2eXr5qswTLJk-3KG0SyM7bBq0dGnl1yN-YrysfQlaJ-I_Gp6yLEwbfmwFGBtZ9cXspCkqYwROh8QiG8Z4VFL5reHSuqg/s320/modern+dance.jpg
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran  kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat,  misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala  macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang  pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).