Sabtu, 12 Januari 2013

Kajian Kebudayaan Manusia pada Zaman Pascamodern (Postmodern)


NAMA            : Hilman Ramadhan
NPM               : 33412482
KELAS          : 1ID01

Era post-modern yang berkembang dewasa ini telah membawa kearah yang penuh dengan ketidakpastian. Di mana tidak ada  nilai benar atau salah yang mutlak bisa dipertahankan, semua kemungkinan bisa terjadi di mana suatu ide dan gagasan yang dianggap benar atau salah pada masa modern bisa diputar balik, diset ulang pada masa ini. Teori-teoriblack swam  sangat mendukung  untuk konsep post-modern ini, dimana salah satu contohnya adalah ketika semua orang dari belahan dunia manapun mengetahui bahwa binatang yang namanya angsa adalah  binatang yang berbulu putih dari tahun ketahun dan mungkin lebih lama lagi dari masa kemasa, namun secara seketika ditemukan anggsa berbulu hitam di Australia yang telah mematahkan pengetahuan selama ini tentang bahwa angsa adalah berbulu putih, hal ini menjadi suatu pertanyaan dan refleksi yang sangat besar bagi banyak orang, tentang adakah kepastian yang mutlak ataukah sebenarnya masih banyak pengetahuan yang belum terungkap oleh umat manusia  di mana sebenarnya masih banyak hal-hal yang belum diketahui oleh umat manusia, yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan di mana sesuatu yang sebenarnya dianggap modern selama ini ternyata adalah sesuatu yang primitif dan sesuatu yang dianggap primitif adalah merupakan suatu bentuk bijaknya.
            Masyarakat di negara maju yang selama ini memuja modernisasi sebagai suatu bentuk kebijaksanaan dari kehidupan umat manusia telah mulai kembali lagi ke bentuk tradisi yang selama ini dianggap kuno dan primitif dan harus ditinggalkan, diganti dengan sesuatu yang serba modern. Ini tercermin dari sifat masyarakat di negara-negara maju yang lebih pluralis terhadap ide dan gagasan yang muncul contoh nyatanya adalah ketika pada masa modern saat ditemukannya berbgai teknologi untuk membantu masyarakat mengeksploitasi alam dengan semaksimal mungkin dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakatnya namun setelah itu apa  yang terjadi alam malah berbalik memusuhi dengan memberikan bencana yang  tidak kunjung ada habisnya, namun coba kita renungi bersama bagaimana masyarakat pada masa lalu yang disebut sebagai masa primitif di mana teknologi belum berkembang seperti masa modern dapat bertahan hidup dan tetap sejahtera, yaitu dengan menjalin relasi yang harmonis dengan alam, dengan hal-hal yang tabu yang dianggap sebagai mitos-mitos yang tidak rasional oleh masyarakat modern, tetapi menjadikan mereka tetap bisa bertahan.
Walaupun pemikiran-pemikiran mereka adalah sesuatu yang tidak rasional bagi orang-orang yang hidup dimasa modern, argumen dari masyarakat yang masih menghargai unsur-unsur tradisi terhadap masyarakat modern, bisa jadi masyarakat modern tersebut pengetahuannya belum sampai kepada pemahamannya terhadap hal yang tidak rasional sebagai sesuatu hal yang sebenarnya rasional. Hal inilah yang banyak dipelajari kembali oleh masyarakat di negara maju. Tetapi bagaimana dengan masyarakat negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, sampai dimanakah pemikirannya, apakah masih  mencoba meninggalkan masa mitis dengan kearifan-kearifan lokalnya untuk menuju masyrakat modern yang telah mulai ditinggalkan masyarakat di negara-negara maju dengan kembali lagi ke nilai-nilai tradisi.
Ada hal yang  menarik ketika kita bicara mengenai informasi di era post-modern, di mana  aktualisasi yang kita tangkap dapat berbentuk lisan dan tulisan. Dan ketika dicermati secara seksama, bahwa pada masyarakat Indonesia masih   menyukai budaya lisan, maka  informasi penting yang seharusnya dapat dibakukan dalam bentuk catatan, aturan dan sejenisnya, masih jauh dari harapan. Namun apakah ini bisa disebut dengan suatu ketertinggalan dan harus diganti dengan budaya tulis dimana sebagian orang ada yang menganggap bahwa budaya tulis adalah sesuatu yang modern, apabila kita belajar dari contoh-contoh diatas, ini semua dapat dipertanyakan lagi dapat diteliti, apakah harus mengganti budaya lisan dengan budaya tulis, atau mempertahankan budaya lisan tanpa perlu menggantinya dengan budaya tulis, atau budaya lisan dan tulis sama-sama dipertahankan sebagai bentuk pluralis yang lebih bijaksana.
Apabila dilakukan pengamatan yang sederhana terhadap kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia, baik anak-anak maupun orang dewasa, tampaknya kegiatan membaca masih belum menjadi suatu kebiasaan. Oleh karena itu apakah budaya tulis dapat benar-benar diterapkan di masyarakat Indonesia, apakah hal itu tidak terkesan seperti memaksakan, budaya baca saja belum tertanan tetapi sudah ingin merubah semuanya menjadi budaya tulis, apakah ini bisa menjadikan semuanya bernilai negatif dengan kehilangan kebiasaan budaya lisan dan tidak memperoleh perubahan ke budaya tulis tentunya. keadaan yang demikian ini dapat dikatakan sebagai suatu cerminan dari masyarakat yang mengalami kemunduran.
Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard
A. Nilai Tanda dan Nilai Simbol
Signs, signs ? Is that all you have to say
(Tanda, tanda ? Apakah cuma itu yang ingin kau katakan ?)
            Perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat konsumer. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi adalah determinan pasar kapitalisme yang juga berubah semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya bahkan politik (Kellner, 1994: 3). Dalam era ini, segala upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi melalui pemassalan produk, diferensiasi produk dan manajemen pemasaran. Iklan, teknologi kemasan, pameran, media massa dan shopping mall merupakan ujung tombak strategi baru era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat konsumer, masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat selalu dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai-guna) dan harga (nilai-tukar)  seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia kini menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik perhatian Baudrillard untuk mengkajinya secara lebih mendalam.
            Dalam bukunya For a Critique of The Political Economy of The Sign (1981), Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non-utilitarian aktivitas konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk menyatakan bahwa konsep nilai-guna dan nilai-tukar yang disarankan Marx, kini telah digantikan oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Namun sebelum sampai kesana, Baudrillard terlebih dahulu mengkaji kondisi masyarakat Barat yang tengah memasuki era masyarakat konsumer.
            Baudrillard memulai proyek genealogi masyarakat konsumer ini dengan dua bukunya yang pertama, The System of Objects (1968) dan Consumer Society (1970). Dalam bukunya yang pertama  yang terinspirasi oleh buku Roland Barthes, The System of Fashion (1967)  Baudrillard menyatakan bahwa di bawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah digantikan oleh mode of consumption (Bertens, 1995: 146). Konsumsi inilah yang kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem-sistem objek, yang merupakan judul buku Baudrillard, adalah sebuah sistem klasifikasi yang membentuk makna dalam kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Melalui objek-objek atau komoditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya. Menurut Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan             atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media                   (Baudrillard, 1969: 19). Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi orang yang satu dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat.
            Selanjutnya dalam Consumer Society (1970), Baudrillard mengembangkan lebih jauh gagasannya tentang kedudukan konsumsi dalam masyarakat konsumer. Menurutnya, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29). Sambil menyanggah pendapat Galbraith yang menyatakan bahwa manusia adalah homo psychoeconomicus, Baudrillard menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970: 47). Dengan pernyataan ini Baudrillard samasekali tidak bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumer, konsumsi  sebagai sistem pemaknaan  tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Dalam bukunya Baudrillard menjelaskan:
What is sociologically significant for us, and what marks our era under the sign of consumption, is precisely the generalized reorganization of this primary level in a system of signs which appears to be a particular mode of transition from nature to culture, perhaps the specific mode of our era (Baudrillard, 1970: 47).
(Apa yang secara sosiologis penting bagi kita, dan apa yang menjadi tanda zaman bahwa kita tengah berada dalam era konsumsi, sebenarnya adalah sebuah fenomena umum tentang pengaturan kembali faktor konsumsi sebagai aspek primer dalam suatu sistem penandaan, yang kemudian tampil sebagai fenomena perubahan dari yang Alamiah (nature) menjadi produk Budaya (culture), yang mungkin merupakan wajah khas zaman kita sekarang).
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,
We dont realize, how much of the current indoctrination into systematic and organized consumption is the equivalent and the extension, in the twentieth century, of the great indoctrination of rural populations into industrial labor, which occurred throughout the nineteenth century (Baudrillard, 1970: 50).
(Kita tidak menyadari bagaimana proses indoktrinasi konsumsi yang sistematik dan terorganisir di abad keduapuluh ini sebenarnya adalah sama dan sekaligus merupakan perluasan, dari proses indoktrinasi masyarakat pedesaan sebagai buruh-buruh industri, yang berlangsung pada abad kesembilan belas).
            Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu paling meyakinkan.
            Pemikiran tentang fenomena masyarakat konsumer dan kemenangan nilai-tanda serta nilai-simbol ini selanjutnya mencapai titik kematangannya pada For a Critique of the Political Economy of the Sign (1981). Dalam bukunya ini Baudrillard memisahkan diri dari Marx dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumer dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana disarankan Marx, sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai sarana analisa kondisi sosial masyarakat. Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta citra oleh perkembangan teknologi dan media massa (Lechte, 1994: 234).
            Mengacu Marx, bersamaan dengan perubahan prinsip masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, muncul konsep komoditi yang merupakan konsekuensi logis dominannya logika produksi dalam era kapitalisme. Komoditi adalah objek produksi yang didalamnya memuat dua nilai dasar yakni, nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna, menurut Marx, adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Nilai-guna menjadi prinsip interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat feodal. Sementara itu seiring dengan perkembangan struktur masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, lahir nilai baru yang menyertai konsep komoditi, yakni nilai-tukar. Nilai tukar adalah nilai yang diberikan kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai-gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek adalah komoditi, yang memiliki kedua nilai dasar tersebut. Dengan konsep komoditi, barang yang memiliki manfaat berbeda, tidak mustahil memiliki nilai-tukar yang sama. Seekor sapi misalnya, bukan tidak mungkin memiliki nilai-tukar yang sama dengan sebuah mobil, meskipun keduanya barangkali memiliki nilai-guna yang berbeda (Lechte, 1994:235). Dengan hadirnya konsep komoditi, maka uang sebagai alat tukar pun semakin mendapat tempat penting dalam aktivitas ekonomi masyarakat kapitalis. Lebih jauh, Marx menyatakan bahwa bila dalam era kapitalisme awal, uang hanyalah sarana tukar pemenuhan kebutuhan, maka dalam era kapitalisme lanjut, uang adalah tujuan akhir dengan komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994: 43). Dengan kata lain, nilai-tukar menjadi lebih penting dibanding nilai-guna. Dan komoditi diciptakan bukan untuk nilai-gunanya, melainkan demi nilai tukar yang berupa uang.  Perkembangan kapitalisme lanjut kemudian menempatkan kedudukan uang (sebagai alat tukar) sebagai satu-satunya sarana penilaian komoditi yang bersifat independen. Uang menjadi bahasa baru yang membentuk dan memberi makna realitas. Dengan uang misalnya, seseorang dapat membeli dan memiliki berbagai kualitas hidup manusia yang diinginkannya. Dalam bahasa Marx, seperti yang dikutip Kellner;
With money, one can possess various human qualities. That which exists for me through the medium of money, that which I can pay for, which money can buy, that am I, the possessor of money. The extent of the power of money is the extent of my power. Moneys properties are my properties and essential powers  the properties and powers of its possessor (Kellner, 1994: 44)
(Dengan uang, seseorang dapat memiliki berbagai kualitas hidup manusia. Bahwa apa yang bisa saya miliki dengan sarana uang, saya bisa bayar, dan uang bisa membelinya, itulah saya, si pemilik uang tersebut. Bertambah besarnya kekuasaan uang adalah bertambah besarnya kekuasaan saya. Apa yang bisa dimiliki uang adalah milik dan kekuasaan utama saya  si pemilik uang).
Thus, what I am and am capable of is by no means determined by my individuality. I am ugly, but I can buy for myself the most beautiful of women. Therefore, I am not ugly, for the effect of ugliness  its determinant power  is nullified by money. In a society where human beings  powers. All the things which you cannot do, your money can do. And conversely, what money cannot do, seemingly cannot be done (Kellner, 1994: 45).
(Maka siapa saya dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh individualitas saya. Saya bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita tercantik yang saya inginkan. Saya kini tidak lagi jelek, karena efek kejelekan tersebut  sebagai faktor determinan  telah dihapuskan oleh uang. Dalam masyarakat dimana manusia telah berubah menjadi benda, maka benda pulalah (uang) yang akan menggantikan kekuasaan manusia. Segala sesuatu yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa melakukannya. Dan sebaliknya, apa yang uang tidak dapat melakukannya, maka ia juga tidak dapat dilakukan).
            Dengan penjelasan demikian, Marx hendak menyatakan bahwa nilai-tukar (exchange-value) kini telah mengalahkan nilai-guna (use-value). Uang sebagai ukuran nilai-tukar  adalah segala-galanya.
            Berangkat dari kerangka analisa komoditi Marx ini, selanjutnya Guy Debord mencoba membaca realitas masyarakat dewasa ini. Bersama kelompoknya Situasionist International  Debord menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam struktur sosial masyarakat, dari masyarakat komoditi (commodity society) ke masyarakat tontonan (society of spectacle). Masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan, dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditi, namun dalam bentuknya yang lebih sublim dan abstrak. Tontonan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai-guna dan kebutuhan manusia sebagai sarana memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Televisi, iklan dan fashion misalnya,  adalah aparat-aparat ideologis masyarakat tontonan yang paling representatif. Lebih jauh, dalam masyarakat tontonan, segala sesuatu  kebudayaan, pendidikan, olahraga, politik bahkan agama  dikemas sebagai tontonan pula. Dengan tontonan komoditi ditampilkan secara lebih halus dan menyenangkan.
Sumber:         -http://segalanya-nabie.blogspot.com/2012/07/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.html
               -http://komunitas.ui.ac.id/pg/blog/purwanto.putra/read/32449/budaya-lisan-dan-budaya-tulisan-di-era-postmodern

Tidak ada komentar:

Posting Komentar