NAMA :
Hilman Ramadhan
NPM : 33412482
KELAS
: 1ID01
Era post-modern yang berkembang dewasa ini
telah membawa kearah yang penuh dengan ketidakpastian. Di mana tidak ada nilai
benar atau salah yang mutlak bisa dipertahankan, semua kemungkinan bisa terjadi
di mana suatu ide dan gagasan yang dianggap benar atau salah pada masa modern
bisa diputar balik, diset ulang pada masa ini. Teori-teoriblack swam sangat
mendukung untuk konsep post-modern ini, dimana salah satu contohnya
adalah ketika semua orang dari belahan dunia manapun mengetahui bahwa binatang
yang namanya angsa adalah binatang yang berbulu putih dari tahun
ketahun dan mungkin lebih lama lagi dari masa kemasa, namun secara seketika
ditemukan anggsa berbulu hitam di Australia yang telah mematahkan pengetahuan
selama ini tentang bahwa angsa adalah berbulu putih, hal ini menjadi suatu
pertanyaan dan refleksi yang sangat besar bagi banyak orang, tentang adakah
kepastian yang mutlak ataukah sebenarnya masih banyak pengetahuan yang belum
terungkap oleh umat manusia di mana sebenarnya masih banyak hal-hal
yang belum diketahui oleh umat manusia, yang belum terpecahkan oleh ilmu
pengetahuan di mana sesuatu yang sebenarnya dianggap modern selama ini ternyata
adalah sesuatu yang primitif dan sesuatu yang dianggap primitif adalah
merupakan suatu bentuk bijaknya.
Masyarakat
di negara maju yang selama ini memuja modernisasi sebagai suatu bentuk
kebijaksanaan dari kehidupan umat manusia telah mulai kembali lagi ke bentuk
tradisi yang selama ini dianggap kuno dan primitif dan harus ditinggalkan,
diganti dengan sesuatu yang serba modern. Ini tercermin dari sifat masyarakat
di negara-negara maju yang lebih pluralis terhadap ide dan gagasan yang muncul
contoh nyatanya adalah ketika pada masa modern saat ditemukannya berbgai
teknologi untuk membantu masyarakat mengeksploitasi alam dengan semaksimal
mungkin dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakatnya namun setelah itu apa yang
terjadi alam malah berbalik memusuhi dengan memberikan bencana yang tidak
kunjung ada habisnya, namun coba kita renungi bersama bagaimana masyarakat pada
masa lalu yang disebut sebagai masa primitif di mana teknologi belum berkembang
seperti masa modern dapat bertahan hidup dan tetap sejahtera, yaitu dengan
menjalin relasi yang harmonis dengan alam, dengan hal-hal yang tabu yang
dianggap sebagai mitos-mitos yang tidak rasional oleh masyarakat modern, tetapi
menjadikan mereka tetap bisa bertahan.
Walaupun pemikiran-pemikiran mereka adalah
sesuatu yang tidak rasional bagi orang-orang yang hidup dimasa modern, argumen
dari masyarakat yang masih menghargai unsur-unsur tradisi terhadap masyarakat
modern, bisa jadi masyarakat modern tersebut pengetahuannya belum sampai kepada
pemahamannya terhadap hal yang tidak rasional sebagai sesuatu hal yang
sebenarnya rasional. Hal inilah yang banyak dipelajari kembali oleh masyarakat
di negara maju. Tetapi bagaimana dengan masyarakat negara-negara berkembang
seperti Indonesia ini, sampai dimanakah pemikirannya, apakah masih mencoba
meninggalkan masa mitis dengan kearifan-kearifan lokalnya untuk menuju
masyrakat modern yang telah mulai ditinggalkan masyarakat di negara-negara maju
dengan kembali lagi ke nilai-nilai tradisi.
Ada hal yang menarik ketika kita
bicara mengenai informasi di era post-modern, di mana aktualisasi
yang kita tangkap dapat berbentuk lisan dan tulisan. Dan ketika dicermati
secara seksama, bahwa pada masyarakat Indonesia masih menyukai
budaya lisan, maka informasi penting yang seharusnya dapat dibakukan
dalam bentuk catatan, aturan dan sejenisnya, masih jauh dari harapan. Namun
apakah ini bisa disebut dengan suatu ketertinggalan dan harus diganti dengan
budaya tulis dimana sebagian orang ada yang menganggap bahwa budaya tulis
adalah sesuatu yang modern, apabila kita belajar dari contoh-contoh diatas, ini
semua dapat dipertanyakan lagi dapat diteliti, apakah harus mengganti budaya
lisan dengan budaya tulis, atau mempertahankan budaya lisan tanpa perlu
menggantinya dengan budaya tulis, atau budaya lisan dan tulis sama-sama
dipertahankan sebagai bentuk pluralis yang lebih bijaksana.
Apabila dilakukan pengamatan yang sederhana
terhadap kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia, baik anak-anak
maupun orang dewasa, tampaknya kegiatan membaca masih belum menjadi suatu
kebiasaan. Oleh karena itu apakah budaya tulis dapat benar-benar diterapkan di
masyarakat Indonesia, apakah hal itu tidak terkesan seperti memaksakan, budaya
baca saja belum tertanan tetapi sudah ingin merubah semuanya menjadi budaya
tulis, apakah ini bisa menjadikan semuanya bernilai negatif dengan kehilangan
kebiasaan budaya lisan dan tidak memperoleh perubahan ke budaya tulis tentunya.
keadaan yang demikian ini dapat dikatakan sebagai suatu cerminan dari
masyarakat yang mengalami kemunduran.
Kebudayaan Postmodern Jean Baudrillard
A. Nilai Tanda dan Nilai Simbol
Signs, signs ? Is that all you have to say
(Tanda, tanda ? Apakah cuma itu yang ingin
kau katakan ?)
Perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan perubahan
dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat konsumer. Bila dalam
era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar
kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi adalah
determinan pasar kapitalisme yang juga berubah semakin bersifat monopoli. Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominan faktor konsumsi bahkan tidak hanya
dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era sebelumnya, kini konsumsi menjadi
motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya bahkan politik (Kellner,
1994: 3). Dalam era ini, segala upaya ditujukan pada penciptaan dan peningkatan
kapasitas konsumsi melalui pemassalan produk, diferensiasi produk dan manajemen
pemasaran. Iklan, teknologi kemasan, pameran, media massa dan shopping mall merupakan
ujung tombak strategi baru era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat
konsumer, masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan
konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat selalu dan selalu
mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi yang berupa
komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai-guna) dan harga
(nilai-tukar) seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia kini
menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol).
Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan
gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi
masyarakat konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan
karakter masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik perhatian
Baudrillard untuk mengkajinya secara lebih mendalam.
Dalam bukunya For a Critique of The Political Economy of The Sign
(1981), Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik
Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non-utilitarian aktivitas
konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk
menyatakan bahwa konsep nilai-guna dan nilai-tukar yang disarankan Marx, kini
telah digantikan oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Namun sebelum sampai
kesana, Baudrillard terlebih dahulu mengkaji kondisi masyarakat Barat yang
tengah memasuki era masyarakat konsumer.
Baudrillard memulai proyek genealogi masyarakat konsumer ini dengan dua bukunya
yang pertama, The System of Objects (1968) dan Consumer Society
(1970). Dalam bukunya yang pertama yang terinspirasi oleh buku Roland
Barthes, The System of Fashion (1967) Baudrillard menyatakan bahwa
di bawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah
digantikan oleh mode of consumption (Bertens, 1995: 146). Konsumsi inilah yang
kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni
objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem-sistem objek, yang merupakan judul
buku Baudrillard, adalah sebuah sistem klasifikasi yang membentuk makna dalam
kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Melalui objek-objek atau
komoditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat konsumer menemukan makna
dan eksistensi dirinya. Menurut Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumer
bukanlah pada kegunaan
atau
manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol
yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media
(Baudrillard,
1969: 19). Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan ke
dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi orang yang satu
dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu
adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi. Dengan
kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem
klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat.
Selanjutnya dalam Consumer Society (1970), Baudrillard mengembangkan
lebih jauh gagasannya tentang kedudukan konsumsi dalam masyarakat konsumer.
Menurutnya, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi
spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29). Sambil menyanggah pendapat Galbraith yang
menyatakan bahwa manusia adalah homo psychoeconomicus, Baudrillard menyatakan
bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai-tanda
dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan
(Baudrillard, 1970: 47). Dengan pernyataan ini Baudrillard samasekali tidak
bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam
masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi
diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh
seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas
melalui sebuah mekanisme penandaan. Dalam bukunya Baudrillard menjelaskan:
What is sociologically significant for us,
and what marks our era under the sign of consumption, is precisely the
generalized reorganization of this primary level in a system of signs which
appears to be a particular mode of transition from nature to culture, perhaps
the specific mode of our era (Baudrillard, 1970: 47).
(Apa yang secara sosiologis penting bagi
kita, dan apa yang menjadi tanda zaman bahwa kita tengah berada dalam era
konsumsi, sebenarnya adalah sebuah fenomena umum tentang pengaturan kembali
faktor konsumsi sebagai aspek primer dalam suatu sistem penandaan, yang
kemudian tampil sebagai fenomena perubahan dari yang Alamiah (nature) menjadi
produk Budaya (culture), yang mungkin merupakan wajah khas zaman kita
sekarang).
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan,
We dont realize, how much of the current
indoctrination into systematic and organized consumption is the equivalent and
the extension, in the twentieth century, of the great indoctrination of rural
populations into industrial labor, which occurred throughout the nineteenth
century (Baudrillard, 1970: 50).
(Kita tidak menyadari bagaimana proses
indoktrinasi konsumsi yang sistematik dan terorganisir di abad keduapuluh ini
sebenarnya adalah sama dan sekaligus merupakan perluasan, dari proses indoktrinasi
masyarakat pedesaan sebagai buruh-buruh industri, yang berlangsung pada abad
kesembilan belas).
Masyarakat konsumer yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang menjalankan
logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir
tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi
penanda-penanda sosial. Individu menerima identitas mereka dalam hubungannya
dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda
dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu
paling meyakinkan.
Pemikiran tentang fenomena masyarakat konsumer dan kemenangan nilai-tanda serta
nilai-simbol ini selanjutnya mencapai titik kematangannya pada For a
Critique of the Political Economy of the Sign (1981). Dalam bukunya ini
Baudrillard memisahkan diri dari Marx dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat
konsumer dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana disarankan Marx,
sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai sarana analisa kondisi sosial
masyarakat. Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan
nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta citra oleh perkembangan
teknologi dan media massa (Lechte, 1994: 234).
Mengacu Marx, bersamaan dengan perubahan prinsip masyarakat feodal menuju
masyarakat kapitalis, muncul konsep komoditi yang merupakan konsekuensi logis
dominannya logika produksi dalam era kapitalisme. Komoditi adalah objek
produksi yang didalamnya memuat dua nilai dasar yakni, nilai-guna (use-value)
dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna, menurut Marx, adalah nilai yang
secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap
objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia.
Nilai-guna menjadi prinsip interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik
masyarakat feodal. Sementara itu seiring dengan perkembangan struktur
masyarakat feodal menuju masyarakat kapitalis, lahir nilai baru yang menyertai
konsep komoditi, yakni nilai-tukar. Nilai tukar adalah nilai yang diberikan
kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai-gunanya. Dalam masyarakat
kapitalis, menurut Marx, setiap objek adalah komoditi, yang memiliki kedua
nilai dasar tersebut. Dengan konsep komoditi, barang yang memiliki manfaat
berbeda, tidak mustahil memiliki nilai-tukar yang sama. Seekor sapi misalnya,
bukan tidak mungkin memiliki nilai-tukar yang sama dengan sebuah mobil,
meskipun keduanya barangkali memiliki nilai-guna yang berbeda (Lechte,
1994:235). Dengan hadirnya konsep komoditi, maka uang sebagai alat tukar pun
semakin mendapat tempat penting dalam aktivitas ekonomi masyarakat kapitalis.
Lebih jauh, Marx menyatakan bahwa bila dalam era kapitalisme awal, uang
hanyalah sarana tukar pemenuhan kebutuhan, maka dalam era kapitalisme lanjut,
uang adalah tujuan akhir dengan komoditi sebagai sarananya (Kellner, 1994: 43).
Dengan kata lain, nilai-tukar menjadi lebih penting dibanding nilai-guna. Dan
komoditi diciptakan bukan untuk nilai-gunanya, melainkan demi nilai tukar yang
berupa uang. Perkembangan kapitalisme lanjut kemudian menempatkan
kedudukan uang (sebagai alat tukar) sebagai satu-satunya sarana penilaian
komoditi yang bersifat independen. Uang menjadi bahasa baru yang membentuk dan
memberi makna realitas. Dengan uang misalnya, seseorang dapat membeli dan
memiliki berbagai kualitas hidup manusia yang diinginkannya. Dalam bahasa Marx,
seperti yang dikutip Kellner;
With money, one can possess various human
qualities. That which exists for me through the medium of money, that which I
can pay for, which money can buy, that am I, the possessor of money. The extent
of the power of money is the extent of my power. Moneys properties are my
properties and essential powers the properties and powers of its
possessor (Kellner, 1994: 44)
(Dengan uang, seseorang dapat memiliki
berbagai kualitas hidup manusia. Bahwa apa yang bisa saya miliki dengan sarana
uang, saya bisa bayar, dan uang bisa membelinya, itulah saya, si pemilik uang
tersebut. Bertambah besarnya kekuasaan uang adalah bertambah besarnya kekuasaan
saya. Apa yang bisa dimiliki uang adalah milik dan kekuasaan utama saya
si pemilik uang).
Thus, what I am and am capable of is by no
means determined by my individuality. I am ugly, but I can buy for myself the
most beautiful of women. Therefore, I am not ugly, for the effect of
ugliness its determinant power is nullified by money. In a society
where human beings powers. All the things which you cannot do, your money
can do. And conversely, what money cannot do, seemingly cannot be done
(Kellner, 1994: 45).
(Maka siapa saya
dan apa keahlian saya tidaklah ditentukan oleh individualitas saya. Saya
bertampang jelek, namun saya bisa membeli wanita tercantik yang saya inginkan.
Saya kini tidak lagi jelek, karena efek kejelekan tersebut sebagai faktor
determinan telah dihapuskan oleh uang. Dalam masyarakat dimana manusia
telah berubah menjadi benda, maka benda pulalah (uang) yang akan menggantikan
kekuasaan manusia. Segala sesuatu yang anda tidak dapat lakukan, uang anda bisa
melakukannya. Dan sebaliknya, apa yang uang tidak dapat melakukannya, maka ia
juga tidak dapat dilakukan).
Dengan penjelasan demikian, Marx hendak menyatakan bahwa nilai-tukar
(exchange-value) kini telah mengalahkan nilai-guna (use-value). Uang sebagai
ukuran nilai-tukar adalah segala-galanya.
Berangkat dari kerangka analisa komoditi Marx ini, selanjutnya Guy Debord
mencoba membaca realitas masyarakat dewasa ini. Bersama kelompoknya
Situasionist International Debord menyatakan bahwa telah terjadi
pergeseran dalam struktur sosial masyarakat, dari masyarakat komoditi
(commodity society) ke masyarakat tontonan (society of spectacle). Masyarakat
tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi
oleh berbagai bentuk tontonan, dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan
tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditi, namun dalam bentuknya yang lebih
sublim dan abstrak. Tontonan memanipulasi dan mengeksploitasi nilai-guna dan
kebutuhan manusia sebagai sarana memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis
atas manusia. Televisi, iklan dan fashion misalnya, adalah aparat-aparat
ideologis masyarakat tontonan yang paling representatif. Lebih jauh, dalam
masyarakat tontonan, segala sesuatu kebudayaan, pendidikan, olahraga,
politik bahkan agama dikemas sebagai tontonan pula. Dengan tontonan
komoditi ditampilkan secara lebih halus dan menyenangkan.
Sumber:
-http://segalanya-nabie.blogspot.com/2012/07/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.html
-http://komunitas.ui.ac.id/pg/blog/purwanto.putra/read/32449/budaya-lisan-dan-budaya-tulisan-di-era-postmodern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar