NAMA : Hilman Ramadhan
NPM : 33412482
KELAS : 1ID01
Zaman modern
biasanya merujuk pada tahun-tahun setelah 1500. Tahun tersebut ditandai dengan runtuhnya Kekaisaran
Romawi Timur, penemuan Amerika oleh Christopher
Columbus, dimulainya Zeitgeist dan reformasi gereja oleh Martin Luther.
Masa modern
ditandai dengan perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan, politik, dan teknologi. Dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seni modern, politik, iptek, dan budaya tak hanya mendominasi Eropa Barat dan Amerika Utara, namun juga
hampir setiap jengkal daerah di dunia. Termasuk berbagai macam pemikiran yang
pro maupun yang kontra terhadap dunia Barat. Peperangan
brutal dan masalah lain dari masa ini, banyak diakibatkan dari pertumbuhan yang
cepat, dan hubungan antara hilangnya kekuatan norma agama dan etika
tradisional. Hal ini menimbulkan banyak reaksi terhadap perkembangan modern.
Optimisme dan kepercayaan dalam proses yang berjalan di tempat telah dikritik
oleh pascamodernisme sementara dominasi Eropa
Barat dan Amerika Utara atas benua lain
telah dikritik oleh teori pascakolonial. (sumber :id.wikipedia.org/wiki/Zaman_modern)
Contoh-contoh
menurut unsur-unsur kebudayaan :
1. Bahasa, terdiri dari bahasa lisan, bahasa
tertulis, dan naskah kuno.
2. Sistem Pengetahuan, meliputi teknologi dan
kepandaian dalam hal tertentu, misalnya pada masyarakat petani ada pengetahuan
masa tanam, alat pertanian yang sesuai lahan, pengetahuan yang menentukan
proses pengolahan lahan.
3. Organisasi Sosial, yaitu cara-cara
perilaku manusia yang terorganisir secara sosial meliputi sistem kekerabatan,
sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, dan sistem politik.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi,
yaitu alat-alat produksi, senjata, peralatan distribusi dan transportasi,
peralatan komunikasi, peralatan konsumsi, pakaian dan perlengkapannya, makanan
dan minuman, peralatan perlindungan atau istirahat
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup, yaitu dari
nomaden menganut foodgathering, semi producing, food producing hingga
industri. Misalnya perburuan, perladangan, perkebunan, pertanian, peternakan,
perdagangan dan industri
6. Sistem Religi, yaitu adanya keyakinan dan
gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, dan tempat terakhir manusia
hidup, yakni surga dan neraka.
7. Kesenian, yaitu gagasan, dongeng, dan
penciptaan lain berupa seni-seni mengukir.
Seiring
dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis
dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi
mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian
kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa
periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama
kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam
kehidupan manusia modern.
Wajah kebudayaan yang
sebelumnya dipahami sebagai
proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya
juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak
maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain,
bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.

Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi
dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi
berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada,
yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan
dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau
social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun
perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat,
kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak
pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu
tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta
kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme
dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk
menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan
bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam
kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan
batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut
etos bangsa itu muncul.
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk
eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pol
a hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam
kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi
pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul
penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola
kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau
keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk
modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena
pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman
berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap.
Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri
kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan
waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah
mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita
dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi)
ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang
terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal
mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi
modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek
kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat
rendah.
Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya
beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh
aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya
dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”.
Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan
internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya
kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri
dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan
kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi
overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran
timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis
demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan
mengerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu
merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para
ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat
Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan
anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas
sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa
dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari
Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang
kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam
putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu
kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan
dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup
masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam
peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan
hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti
tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak
mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis,
Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala
macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa
mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan
Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu
yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan
itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan
simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang
internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried
Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh
hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty
free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun
sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya
artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal
orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia
modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun
terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri
dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan
penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri.
Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme:
orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa
yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini,
bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya
manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan
Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan
Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia
mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain,
akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan
barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka
masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu
belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan
Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga
belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang
pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan
moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar