Minggu, 10 Maret 2013

Contoh pelanggaran HAM dan Demokrasi yang pernah berlaku di Indonesia


Contoh pelanggaran han di indonesia

Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Demokrasi  yang pernah berlaku di Indonesia

1. Orde Lama (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966)
Demokrasi Terpimpin, adalah suatu pemerintahan yang seluruh keputusan atau pemikirannya berpusat pada pemimpinnya saja, maksudnya ketika negara Indonesia ingin maju di bidang politik, ekonomi, hukum, keadilan, dsb. semua keputusan perkembangan negara indonesia itu ada di tangan pemimpin
Terjadinya Perubahan tatanan Negara yang menjurus pada pemusatan kekuasaan, maksudnya kekuasaan sepenuhnya dikendalikan oleh presiden (Ir.Soekarno), otomatis para pejabat ataupun rakyat tidak boleh ikut campur atau mencampuri atas urusan Soekarno.
Penyimpangan yang Terjadi pada Masa Orde Lama :
Pengangkatan Presiden Seumur Hidup
Banyak Jabatan yang Langka
Presiden Membubarkan DPR hasil pemilu 1995
Konsep Pancasila berubah menjadi NASAKOM, karena konsep Pancasila lebih menguntungkan Rakyat dan tidak menguntungkan Soekarno, sehingga Soekarno mengganti Pancasila menjadi NASAKOM yang merupakan paham atau ideologi dalam bidang politik menurut ajaran "Karl Marx and Fredrich Engels" yang hendak menghapuskan hak milik perorangan dan menggantinya dengan hak milik bersama yang di kontrol oleh Negara.
Pelaksanaan Politik Luar Negri yang Bebas Aktif yang cenderung memihak Komunis, maksudnya pemerintahan Belanda bisa ikut campur terhadap politik luar negri Indonesia yang keuntungannya memihak kepada Belanda dan bukan memihak kepada Indonesia.
2. Orde Baru (11 Maret 1966 - Mei 1998)
Demokrasi Pancasila, demokrasi ini hanyalah sebagai kedok saja dan yang sebenarnnya masih menggunakan Demokrasi Terpimpin.

Terjadinya Perubahan Pemerintah yang Sentralik bahkan menjurus pada Otoriter yang akibatnya terjadi praktek KKN dalam pemerintahan.
Penyimpangan yang Terjadi pada Masa Orde Baru :
Pelaksanaan Perekonomian yang Cenderung monopolitik, yaitu kelompok tertentu yang dekat dengan elit kekuasaan mendapat prioritas khusus yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial
Mekasnisme hubungan pemerintah pusat dengan daerah menjurus menganut sentralisasi kekuasaan yang mengakibatkan terhambatnnya pemerataan pembangunan
 UU tentang pembahasan kekuasaan Presiden belum memadai sehingga memberi peluang terjadinya KKN, penyalahgunaan wewenang, pelecehan Hukum, dan mengabaikan rasa keadilan
3.  Era Reformasi
Demokrasi Pancasila, maksudnya Pemerintah diharapkan lebih transparan dan memberi keleluasaan bergerak bagi rakyat dalam menyampaikan aspirasi sesuai dengan peraturan yang berlaku

 Hal-hal yang harus lebih di tekankan dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Reformasi
Penegakan kedaulatan rakyat
Terdapat pembagian secara tegas antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
Penghormatan terhadap keberagaman asas, ciri-ciri aspirasi protes pembentukan dan program partai politik yang multi partai
optimalisasi hak-hak DPR dalam melaksanakan tugasnya

Ada 4 persyaratan yang dapat membuat pertumbuhan demokrasi menjadi lebih baik
Peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan
Pemberdayaan dan pengembangan kelompok-kelompok masyarakat bagi pertumbuhuan demokrasi, seperti LSM dan lembaga pekerja
Hubungan Internasional yang lebih adil dan seimbang
Sosialisasi pendidikan kewarganegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar