Minggu, 30 Juni 2013

POLITIK INDONESIA PADA MASA ORDE LAMA, BARU, DAN REFORMASI

  1. POLITIK INDONESIA PADA MASA ORDE LAMA, BARU, DAN REFORMASI

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia  mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialismekomunisme.
            Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden yang diusung oleh Partai juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah AgungKomisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.
Sistem Politik berarti mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam strutkus politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukkan satu proses yang langgeng. Sistem Politik Indonesia berarti :
1.      Sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia (masa lampau)
2.      sistem politik yang sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang)
3.      Sistem politik yang berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan datang)
Di dalam dunia perpolitikan yang terjadi di Indonesia, kalau semasa orde lama berbagai percobaan sistem kenegaraan pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, mulai dari percobaan adopsi demokrasi ala barat yang puritan hingga demokrasi terpimpin. Namun, ketika orde lama yang dimotori Soekarno tumbang, naiklah sebuah orde yang dimotori oleh pihak militer ke jenjang kekuasaan pemerintahan yang dinamakan orde baru. Sesuai dengan jiwa orang-orang yang berada di balik layar, maka pemerintahan yang bergaya militer dan berciri-khaskan kebapakan (komandan) serta terkurungnya berbagai kebebasan madani mulai berkembang.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Masa transisi dalam sebuah konstalasi politik negara merupakan periode rekonsolidasi antara kekuatan politik yang menghendaki perubahan. Rekonsolidasi dilakukan dalam level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa rakyat sebagai pemegang legitimasi negara. Masa transisi merupakan periode menentukan dalam sebuah perkembangan politik, sehingga membutuhkan sebuah konsistensi, energi ekstra dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab, rekonsolidasi tidak hanya sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok progresif, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan status quo (konservatif). Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting dari memulai perubahan. Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi yang penting, yakni era peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi.
Peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru dalam skop nasional selama ini dipahami melalui buku-buku teks yang memuat kronologi sejarah nasional. Penulisan sejarah yang ‘monolog’ dan cenderung pro-pemerintah (buku putih Orde Baru). Sedangkan proses jatuhnya Orde Baru yang masih digolongkan sebagai sejarah kontemporer dapat diakses secara luas dan variatif. Indonesia yang menganut sistem negara kesatuan, dalam proses meraih legitimasinya hingga saat ini, kerap dihadapkan pada permasalahan disintegrasi. Kondisi geografis yang terdiri dari ribuan pulau, realitas multikultur, etnis, suku, dan agama menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kukuhnya integritas nasional. Dalam tinjauan historis, proses konsolidasi para pemuda dapat terwujud melalui ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang selanjutnya menjadi bekal peneguhan visi mewujudkan kemerdekaan, hingga lahirnya konsep negara kesatuan. Perjalanan sejarah lahirnya negara Indonesia lahir melalui kesamaan visi melepaskan diri dari imprealisme sekaligus merupakan wujud ikatan emosionil sebagai bangsa bekas jajahan Belanda.
Ciri Orde Lama, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soekarno adalah Yang Pertama, sistem Presidensial dengan artian Presiden sebagai kepala negara yang berjalan pada setiap priodik masa jabatan dan keseimbangan terhadap pemerintah dan rakyat. Yang Kedua, sistem Parlementer dengan artian perdana mentri sebagai kepala negara, tetapi ada kelemahannya yakni masa jabatannya sangat singkat dan pemerintahannya tidak stabil adapun kelebihannya pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar. Yang Ketiga, tentang Demokrasi Terpimpin dengan artian menjadi kepala negara seumur hidup dan hampir pemerintahannya sangat otoriter. Adapun kegagalan dan kelebihan pada Orde Lama ada, terutama kegagalan Orde Lama pada pemerintahan Soekarno adalah masalah ekonomi yang kian turun, stabilitas politik-keamanan sangat kurang, dan konstitusi yang tidak komitmen. Adapun keberhasilan pada Orde Lama adalah nation building yang sangat kuat dan diplomasi luar-negri yang sangat besar terhadap dunia. Akan tetapi menurut para politik ini semuanya gagal dalam pemerintahan Orde Lama.
Ciri Orde Baru, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto adalah Yang Pertama, wawasan kebangsaan yang sangat lemah dan bersifat dogmatis atau doktrin yang terlalu berlebihan. Yang Kedua, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meraja lela. Yang Ketiga, jiwa dan bathinnya yang kering. Adapun kegagalan dan kelebihan pada Orde Baru ada, terutama kegagalan Orde Baru pada pemerintahan Soeharto adalah ketidakadilan dalam sosial baik pemerintah maupun rakyat jelata sekalipun sehingga timbulah korupsi pada jiwa bangsa ini, kurangnya membangun keterbukaan politik. Adapun keberhasilan pada Orde Baru adalah pembangunan fisik, yang amat disayangkan ialah tidak melihat sisi bathin masyarakat pada masa itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik saya kira pada era 1980 hingga 1996-an masyarakat masih merasakan rupiah pada waktu itu sampai kepada tahap no urut 8 besar, itupun masih ada uang inggris yang tinggi pada waktu itu, lalu stabilitas politik-keamanan yang sangat kuat dibandingkan pada masa Orde Baru.

B.1. Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Situasi perpolitikan nasional menjelang runtuhnya Orde Lama, ditandai dengan pertarungan perebutan pengaruh dan upaya penciptaan hegemoni pada pemerintahan. Kekuatan yang dominan dan memiliki pengaruh, diantaranya adalah Militer (Angkatan Darat), Masyumi, PNI, PKI, dan Soekarno. Namun, perkembangan situasi politik membawa perubahan yang lebih cepat. Semula berhembus isu Dewan Jenderal yang berada dalam tubuh Angkatan Darat dan dituduh akan melakukan kudeta. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) telah membuka peta politik menjadi semakin teransparan. Saat itu, PKI menjadi satu-satunya kelompok yang dituduh sebagai dalang dari upaya kudeta tersebut.
Puncak dari konstalasi politik tersebut menggiring PKI tertuduh sebagai dalang dan pelaku pemberontakan. Akibatnya, PKI tidak saja terdepak dari kedudukan politiknya di kabinet maupun di parlemen. Bahkan, militer di bawah kendali Soeharto bersama kelompok massa demonstran dari kalangan mahasiswa dan pelajar (KAMMI dan KAPPI) seakan terhipnotis terbawa isu untuk menghancurkan PKI dan jaringan Ormasnya.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi dalam tinjauan geopolitik Indonesia makro adalah fakta pengulangan sejarah yang menempatkan sosok presiden sebagai subyek sekaligus obyek perubahan. Namun, secara kontekstual masing-masing memiliki faktor determinisme kausalitas yang berbeda.
Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top down. Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.
Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik, kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan politik semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme. Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya, namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear).
 B.2. Konfigurasi politik era orde lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1.      Gerakan separatis pada tahun 1957
2.      Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
B.3. Konfigurasi politik era orde baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.  Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1.      Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama;
2.      Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
            Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
B.4. Partai Politik
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1.      Sarana komunikasi politik
2.      Sosialisasi politik
3.      Sarana rekruitmen politik
4.      Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
 Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
·         Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
·         Pemerintahan Negara yang demokratis;
·         Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
·         Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
·         Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945;  dan  ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
 B.5. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
B.6. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari  PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
 B.7. Latar belakang lahirnya orde baru
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
·         Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
·         Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
·         Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
·         Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
 Latar belakang lahirnya Orde Baru :
  1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
  2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
  3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
  4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya      dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
  5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
  6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat)  yang berisi :
·                     Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
·                     Pembersihan Kabinet Dwikora
·                     Penurunan Harga-harga barang.
  1. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
  2. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
  3. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
 Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
·         Setelah dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan.
·         Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI.
·         Munculnya konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
·         Konflik Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena akhirnya Sukarno mengundurkan diri  dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Suharto.
·         Pada tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .
·         12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
·         Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
 B.8. Kehidupan Politik Masa Orde Baru
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
  • Melakukan pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
  • Menyusun kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
  • Menetapkan Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
  • Melaksanakan Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Pelaksanaan Orde Baru :
  • Awalnya kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
  • Perkembangannya, kehidupan demokrasi di Indonesia  tidak berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin.
  • Untuk menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak diperhatikan/diabaikan.
 Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan  kehidupan Politik :
A.          Penataan Politik Dalam Negeri
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut :
  • Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
  • Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
  • Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
  • Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
  • Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
  • Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
  • Pelaksanaan Pemilihan Umum
  • Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 3o September
  • Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
  • Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966.
  • Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
  • Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
  • Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
  • Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
  • Golongan Karya (Golkar)
4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
 1)     Pemilu 1971
  • Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
  • Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
  • Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
  • Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).                                   
2)    Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.

3)    Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
 4)    Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah :
  • PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
  • Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
  • PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5)    Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6)    Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
  • Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
  • PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
  • PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
 6. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
 B. Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
 1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
 2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatic.
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
  • Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
  • Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  • Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara..
 3)    Pendirian ASEAN(Association of South-East Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja. Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN adalah Indonesia, Thailand, Malysia, Singapura, dan Filipina.  
 B.9. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi masa Orde Baru
Dampak positif dari kebijakan politik pemerintah Orba :
  • Pemerintah mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekusaan lembaga kepresidenan yang membuat semakin kuatnya peran negara dalam masyarakat.
  • Situasi keamanan pada masa Orde Baru relatif aman dan terjaga dengan baik karena pemerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
  • Dilakukan peleburan partai dimaksudkan agar pemerintah dapat mengontrol parpol.
Dampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orba:
  • Terbentuk pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan sentralistis.
  • Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik yang sangat merugikan rakyat.
  • Pemerintah Orde Baru gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik dan benar kepada rakyat Indonesia. Golkar menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara 2 partai lainnya hanya sebagai boneka agar tercipta citra sebagai negara demokrasi.
  • Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilhan presiden melalui MPR Suharto selalu terpilih.
  • Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.
  • Kebijakan politik teramat birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN.
  • Dwifungsi ABRI terlalu mengakar masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan pada bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh personel TNI dan Polri. Dunia bisnis tidak luput dari intervensi TNI/Polri.
  • Kondisi politik lebih payah dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemah. Dimana hukum hanya diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa sehingga tidak mampu mengadili para konglomerat yang telah menghabisi uang rakyat.
 Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
  • Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.
  • Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
  • Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
  • Penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
  • Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
  • Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.
  • Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
  • Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
  • Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
  • Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
  • Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.
  • Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru :
  • perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS $70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
  • sukses transmigrasi
  • sukses KB
  • sukses memerangi buta huruf
  • sukses swasembada pangan
  • pengangguran minimum
  • sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
  • sukses Gerakan Wajib Belajar
  • sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru :
  • semaraknya korupsikolusinepotisme
  • pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan      daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
  • munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  • kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
  • bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
 C. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998
1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia
Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dari kabinetnya.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
  • Merekapitulasi perbankan
  • Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
  • Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
  • Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
  • Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.
2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya undang – undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.
3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat.
Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.
5. Sidang Istimewa MPR
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan.
6. Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat.
Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta pemilihan umum.
Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.
7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatanya. Akibat munculya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.


 2. Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (“Eenheidstaat”), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan
  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
  1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya
  2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah dan
  3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
 Adapun kelebihan dari Otonomi daerah yaitu :
- Untuk mengurangi beban pemerintah pusat yang terlalu berat karena harus mengurus indonesia dari sabang sampai marauke. ;D
- Otonomi daerah dapat memberikan kesempatan yang sangat besar kepada daerah untuk berkembang sesuai potensi yang dimilikinya dengan segala SDA dan SDM nya.
- Pengelolaan SDA yang ada akan lebih maksimal, mengingat daerah lebih tau dan mengenal potensinya, sehingga bisa mengelola dengan maksimal untuk kesejahteraan masyarakatnya.
- Terciptanya pelayanan terhadap masyarakat lebih baik, karena pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya begitu juga sebaliknya.
- Masalah yang muncul di daerah dapat di tangani dengan cepat, karena tidak perlu menunggu perintah atau keputusan dari pusat. Tindakan yang diambil terhadap masalah lebih cepat.
- Peran pemerintah daerah sangat besar dan AKtif bekerja sama dengan masyarakatnya untuk mengembangkan daerahnya ke arah yang lebih baik tentunya.
 Apapun kebijakan itu, pasti ada saja kekurangannya, dan kekurangan ini menjadi motivasi untuk memperbaiki sistemnya. Adapun kekurangan Otonomi Daerah ini yaitu :
- Terlalu besarnya kekuasaan pemerintah daerah dapat memicu munculnya kekuasaan absolut dan kesewenang-wenangan.
- Karena besarnya kekuasaan itu maka cenderung akan disalahgunakan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Kurangnya pengawasan dari pusat dapat menimbulkan exsploitasi SDA secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan kerusakan SDA yang tak terkontrol dengan baik.
- Sitem penyaluran kebijakan atau dana dari pusat akan menjadi rumit dan rentan terjadi penyelewengan.
- Tidak meratanya pembiayaan dari pusat kepada setiap daerah
- Terjadi kesenjangan antara daerah satu dengan lainnya, karena SDA dan SDM yang dimiliki berbeda, menyebabkan pembangunan lebih besar di suatu daerah dan sementara di daerah lain tertinggal jauh.
Jika kita melihat pelaksanaan otonomi daerah di indonesia , tidak asing lgi ditelinga kita mendengar kasus korupsi para pejabat didaerah, seperti bupati. 
Praktik korupsi di daerah tersebut biasanya terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
Apabila otonomi daerah ini sudah dilakukan sesuai dengan kaidah yang diatur dalam Undang- Undang No. 32 tahun 2004, saya yakin pasti akan banyak kelebihannya daripada kekurangannya.  Kebanyakan kekurangan itu terjadi karena oknumnya yg menyalahgunakan kekuasaan tersebut.


1 komentar: